Sabilillah bukanlah sabilil khoir

*Pertanyaan:*


Dapatkah dibenarkan Penafsisran sabilillah dengan sabilil khoir dalam ayat zakat sebagaimana yang di hikayahkan oleh imam al-Qoffal dari ba'dlihim? apakah bisa dijadikan sebagai pedoman bagi kita kaum Nahdliyyin?


*Jawaban:*


Tidak bisa dijadikan pedoman karena penafsiran sabilillah dengan sabilil khoir merupakan pendapat yang tidak sesuai dengan wajah/pendapat shohih yang bertendensi pada ijma jumhur ulama, yakni sabilillah ditafsirkan dengan orang yang berperang di medan pertempuran melawan orang-orang kafir tanpa mendapatkan gaji sepeserpun dari khalifah atau penguasa (pejuang suka relawan).


*Penjelasan:*


Secara umum, *Fi sabilillah* dapat diartikan dengan segala amal kebajikan yang bertujuan untuk menghidupkan ruh Islam. Akan tetapi dalam hal zakat, para ulama mendefinisikannya hanya dalam satu pengertian, yaitu orang yang berperang di medan pertempuran melawan orang-orang kafir tanpa mendapatkan gaji sepeserpun dari khalifah atau penguasa (pejuang suka relawan).


Adapun penafsiran sebagian orang bahwa pembangunan rumah sakit, masjid atau madrasah dan aktivitas lain yang baik *(sabilil khoir)* seperti mengajar adalah masuk ke kategori  sabilillah yang berhak menerima (mengambil) bagian dari zakat, maka hal ini tidak dapat dibenarkan dengan berbagai alasan sebagai berikut:


1. Tidak satupun di antara ulama salaf, imam mujtahid atau yang setingkat dengan mereka mengatakan bahwa sabilillah dalam hal zakat adalah mencakup semua amal kebaikan.


2. Pendapat tersebut muncul dari orang-orang yang belum memenuhi syarat-syarat ijtihad.


3. Pendapat tersebut menyalahi perkataan imam Malik: Jalan menuju Allah sangatlah banyak, tetapi aku tidak menjumpai ikhtilaf (perbedaan pendapat diantara para ulama’) bahwa yang dimaksud sabilillah di sini (dalam hal zakat) adalah berkaitan dengan peperangan (Ibnu al ‘Arabiy al Maliki, Ahkam al Qur'an).


4. Adanya *ijma'* (konsensus para pakar tafsir) bahwa yang dimaksud sabilillah dalam ayat tersebut para pejuang sukarelawan. Hal ini dapat ditelaah dalam kitab-kitab tafsir mu’tabar seperti al-Bahr al-Muhith atau an-Nahr al-Mad karya Abu Hayyan, at-Tafsir al-Kabir karya ar-Raziy, Zad al-Masiir karya al-Hafidz Ibnu al-Jauzi, tafsir al-Baidhawi, tafsir al-Qurthubi, tafsir Ibnu Athiyyah dan masih banyak lagi.


5. *Pendefinisian fi sabilillah dengan para pejuang sukarelawan merupakan ijma’ para ulama* yang telah dinyatakan para fuqaha’ (ulama fikih), mereka antara lain: imam Syafi’i dalam al-Um juz VI hal. 62, imam Malik dalam al-Muwatha hal. 179, Muhammad Ibnu al Hasan dalam al-Mudawwanah juz II hal. 59, Ibnu Hubairah al-Hanbali dalam al-Ifshah hal. 108, Ibnu Qudamah dalam al-Mughniy, Ibnu al-Mundzir dalam al-Irsyaf dan lain-lain. Hanya saja imam Ahmad bin Hanbal menambahkan bahwa termasuk juga fi sabilillah dalam hal ini adalah haji.


6. Cukup sebagai dalil bahwa zakat tidak boleh diberikan kepada selain ashnaf (golongan) yang delapan sesuai  penjelasan para ulama’ bahwa ayat 60 dari surat at-Taubah tersebut menggunakan *lafdz innama* (termasuk lafadz yang berfungsi hashr, yaitu terbatas pada sesuatu yang disebutkan setelahnya) yang berarti bahwa zakat hanya sah jika diberikan kepada 8 golongan tersebut. Dan seandainya zakat itu diperuntukkan bagi semua amal kebaikan maka tidak ada artinya al-hashr (pembatasan) dengan lafadz innama tersebut. Juga sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika beliau menjelaskan tentang zakat:

إِنَّهَا لاَ تَحِلُّ لِغَنِيٍّ وَلاَ لِذِيْ مِرَّةٍ سَوِيٍّ

“Sesungguhnya sedekah wajib (zakat) tidak halal bagi *orang kaya* dan orang yang mempunyai pekerjaan yang mencukupinya” (HR Abu Dawud dan al-Baihaqi)


Jika zakat dibayarkan untuk membangun rumah sakit, masjid atau madrasah kemudian tempat-tempat itu dimanfaatkan oleh semua orang baik kaya maupun miskin, maka hal ini jelas bertentangan dengan hadits tersebut. 


7. Kutipan imam al-Fakhru aL-Rozi dari imam al-Qaffal Asyasyi bahwa sebagian fuqaha’ mengatakan, sabilullah mencakup semua jalan kebaikan, adalah kutipan dari orang yang majhul (tidak dikenal) dan merupakan *pendapat yang rusak* (menyimpang dari kebenaran) dari al-majahil (orang-orang yang tidak dikenal ) dan ini menyalahi ijma’ yang telah dinyatakan oleh para ulama’ seperti imam Malik. Karenanya pendapat ini tidak bisa diterima sebab menyalahi ijma’ (Muhammad Zahid al-Kautsari, Maqalat al- Kautsari, hal.  222). 


8. Jika ada sebagian orang yang menuqil dari imam Ahmad bahwa ia mengatakan, zakat boleh diberikan untuk semua amal kebaikan, perlu diketahui bahwa ia telah menyalahi nash-nash fuqaha’ Hanabilah (ahli fiqih dari madzhab Hanbali). Seperti yang telah dikemukakan oleh Ibnu Hurairah al-Hanbali dalam al-Ifshah, Ibnu Qudamah al-Hanbali dalam al-Mughni dan juga ulama’ ulama’ mujtahid atau yang dibawah derajat mereka dari luar kalangan fuqaha’ Hanabilah 

Karena semua inilah, maka para ulama’ seperti Sulthan al-Ulama’ al-‘Izzu Ibnu Abdis Salam berfatwa: Meskipun penguasa waktu itu sangat memerlukan biaya untuk berperang melawan pasukan Tar-Tar, bahwa ia tidak boleh mengambil bagian zakat untuk diberikan kepada tentara muslim yang sudah mendapatkan gaji dari kas negara. Beliau tidak mengatakan kepada penguasa waktu itu gunakanlah harta zakat untuk setiap yang dinamakan jihad. Sebagaimana yang diceritakan oleh Tajuddin as-Subkiy dalam Thabaqat as-Syafi’iyah dan Ibnu Katsir dalam al-Bidayah wal Nihayah. 

Bahwa yang dimaksud fi sabilillah hanyalah para pejuang sukarelawan, hal ini juga ditegaskan oleh mantan mufti Mesir yang terkenal, Syekh Muhammad Bakhit al Muth’ii’ dan sekh Muhammad Zahid al-Kautsari yang merupakan wakil syaikh al-Islam terakhir dalam Khilafah Utsmaniyyah.


*Faedah Penting:*


1. Bagi seorang muslim hendaknya menjadikan tujuan hidupnya adalah mencari ridla Allah semata dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban sesuai dengan perintah Allah dan Rosul-Nya dan menjahui semua larangan-Nya juga hendaklah ia senantiasa mengingat bahwa *Allah akan menghisab segenap perbuatannya*. Rosulullah saw bersabda:

لَاتَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ؟ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيْمَ فَعَلَ؟ وَ عَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ؟  وَعَنْ جِسْمِهِ فِيْمَ أَبْلاَ؟

“Tidak berpindah dua tapak kaki seorang hamba (dari mawqifnya untuk *dihisab* ke surga atau ke neraka) pada hari qiamat sehingga ia ditanya: (1) tentang umurnya (hidupnya di dunia), dalam hal apa ia menghabiskannya (dalam ta’at atau maksiat)? (2) tentang ilmunya, dalam amal apa ia melakukannya? *(3) tentang hartanya, dari mana ia mendapatkannya (dari halal atau haram) dan dalam apa ia menginfakkannya?* dan (4) tentang jasadnya, dalam hal apa ia merusakkannya?” (HR At Tirmidzi)


2. Karenanya hendaklah seorang muslim berusaha sebaik-baiknya sehingga ia yakin bahwa zakatnya telah sampai ke tangan orang yang berhak menerimanya (mustahiq). Oleh karena itu para ulama’ diantaranya imam Ahmad menyatakan: disunnahkan bagi seseorang untuk *menyalurkan zakatnya kepada mustahiq dengan tangannya sendiri*. Bahkan Ats-Tsauri menyatakan ”Sumpahlah mereka (para penguasa) dan jangan percayai mereka dan jangan beri mereka apapun jika mereka tidak menempatkannya sesuai dengan tempat yang semestinya (As-Syarhu al-Kabir Fil Fiqhil Hanbali juz II hal. 673).


3. Bagi mereka yang tidak menempatkan zakat sesuai dengan tempatnya atau mengambil bagian zakat yang bukan merupakan haknya. Hendaklah ingat sabda Rosulullah: 

إِنَّ رِجَالًا يَتَخَوَّضُونَ فِي مَالِ اللَّهِ بِغَيْرِ حَقٍّ فَلَهُمْ النَّارُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ 

“Sesungguhnya beberapa orang laki-laki (dari golongan penguasa, amil dan lainnya) yang membelanjakan harta Allah (harta *Baitul Mal* berupa *zakat*, kharaj, jizyah, ghanimah, fai’ dll.) dengan tanpa haq (dengan batil), maka mereka berhak mendapatkan siksa neraka di hari qiyamat” (HR Al Bukhoriy)

1. بغية المسترشدين ص 106:

(مسألة) : لا يستحق المسجد شيئاً من الزكاة مطلقاً ، إذ لا يجوز صرفها إلا لحرّ مسلم ، ومثله ما في الميزان الكبرى في الجزء الثاني من باب قسم الصدقات وعبارته : اتفق الائمة الاربعة على انه لا يجوز اخراج الزكاة لبناء المسجد او تكفين ميت .

،2. تفسير الخازن -3 /295:

لصنف السابع قوله تعالى : ( وفي سبيل الله)  يعني وفي النفقة في سبيل الله وأراد به الغزاة فلهم سهم من مال الصدقات فيعطون إذا أرادوا الخروج إلى الغزو ما يستعينون به على أمر الجهاد من النفقة والكسوة والسلاح فيعطون ذلك وإن كانوا أغنياء لما تقدم من حديث عطاء وأبي سعيد الخدري ولا يعطى من سهم الله لمن أراد الحج عند أكثر أهل العلم وقال قوم يجوز أن يصرف سهم سبيل الله إلى الحج يروى ذلك عن ابن عباس وهو قول الحسن وإليه ذهب أحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه وقال بعضهم : إن اللفظ عام فلا يجوز قصره على الغزاة فقط ولهذا أجاز بعض الفقهاء صرف سهم سبيل الله إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الجسور والحصون وعمارة المساجد وغير ذلك قال لأن قوله وفي سبيل الله عام في الكل فلا يختص بصنف دون غيره *والقول الأول هو الصحيح لإجماع الجمهور عليه*. 

3. النقض الكاوي لدعوى يوسف القرضاوي ص18:

واما حكاه الرازي من ان القفال الشاشي عزا القول بشمول (وفي سبيل الله (60)) لوجوه البر الى مجهول من الفقهاء على خلاف رأي الجماعة فلا عبرة به، واي اعتبار يقام لرواية مجهول على خلاف الاجماع ؟ وقد قال الكوثري ان الشاشي حينما الف تفسيره كان بعد معتزليا لا يتحاشي نقل اراء المبتدعة ممن لا يقام لكلهم وزن، فزاد هذا الامر تلك الرواية سقوطا وشذوذا، ولسنا بحمد الله ممن يترك جمهور الامة ليتبع مجاهل الشذاذ.  ثم ان الشاشي القفال لم يعتمد هذا القول والا لكان اورده في كتابه (حلية العلماء) فانه ذكر فيه سهم فس سبيل الله هو الغزاة الذين اذا نشطوا غزوا، وبه قال مالك وابو حنيفة ، وقال احمد / يجوز ان يدفع ذلك الى من يريد الحج ويدفع الى الغازي مع الغني وقال ابو حنيفة لا يدفع اليه الا ان يكون فقيرا. 

4. النقض الكاوي لدعوى يوسف القرضاوي ص19:

فلو حمل (وفي سبيل الله (60)) على معنى كل وجوه البر لشمل ذلك اعطاء الفقير قسطا من هذا السهم، والتصدق على المسكين بقسط منه، واستخلاص الرقاب من الرق وانقاذ الغارم من الدين ومعاونة ابن السبيل، الى غير ذلك وهذا لا يستقيم لان كل سهم مباين للاخر مختلف عنه غير متداخل معه، فتعين بطلان هذا التفسير لا سيما وهو يخالف الحقيقة الشرعية ولم يبق الا حمل العبارة على ان المراد بها الغزو وقتال الكفار وما الحق به.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Membangun rumah tingkat melebihi batas tanah bawah

Zakat pada sabilil khoir